Renungan Harian – KEPEDIHAN HATI

Renungan harian 17 Juli 2020
Renungan harian 17 Juli 2020

Renungan Harian Kristen hari ini: Juli 2020.

Renungan

Suatu peristiwa tragis yang terjadi ketika saya masih duduk di SMU membekas sampai kini. Seorang pemuda yang sekampung sering muncul di rumah kami dan mulai menjengkelkan. Kemudian dia muncul pada saat-saat waktu makan malam. Akhirnya, saya mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaannya. Dia tidak muncul lagi, saya menjadi lega. Namun, betapa terkejutnya ketika saya mendengar dia telah mati bunuh diri dua minggu kemudian. Saya menyesal sekali, mengapa saya tidak ada kepedulian terhadap kepedihan hatinya. Mungkin sewaktu ia berkunjung dia sedang membangun keberaniannya untuk mengungkapkan kepedihannya.

Memang, hampir setiap orang memiliki kesulitan atau penderitaan, meskipun masing-masing kita berbeda cara menanggungnya, bukan? Pengalaman kita berlainan dan demikian pula daya tahan kita.

Sebaliknya, setiap kita juga memiliki sukacita kita sendiri. Sebagian kita memperoleh sukacita dalam pekerjaannya, dalam hobinya, dalam keluarganya, atau dalam hidup pelayanannya. Memang duka silih berganti dengan suka, kepahitan dengan kenikmatan. Seseorang dapat berbagi ceritera tentang kepedihannya, tetapi ia tidak bisa memberikan kepedihannya kepada kita. Seseorang bisa pula menjelaskan tentang alasan dia bersukacita namun dia tidak dapat memberikan kita sukacitanya.

Pada saat peresmian Bait Suci, raja Salomo berdoa bagi mereka yang datang untuk beribadah dan berdoa agar “masing-masing mengenal apa yang merisaukan hatinya sendiri” karena Allah “sajalah yang mengenal hati semua anak manusia” (I Raja-raja 8:38-39). Percayalah, Tuhan mengenal kepedihan dan kebahagiaan kita masing-masing . Tidak seharusnya kita merasa sendirian dan kesepian.

Kesepian adalah suatu kepedihan hati yang membahayakan jiwa.

Bacaan Alkitab

Hati mengenal kepedihannya sendiri dan orang lain tidak dapat turut merasakan kesenangannya.

Amsal 14:10

BELAJAR DARI AMARAH YESUS

Walaupun sering kita berpikir bahwa Yesus itu “rendah hati dan lemah lembut”, tetapi Yesus bisa marah juga.

Ketika Ia tiba di Bait Allah sesudah dielu-elukan di Yerusalem, Yesus melihat suatu kejadian yang membuatNya geram. Orang-orang yang datang untuk berbakti kena tipu. Banyak di antara mereka adalah orang-orang Yahudi yang tinggal di luar Israel yang perlu menukarkan uang asing mereka dengan mata uang lokal guna membeli hewan sembelihan. Dengan pura-pura menolong mereka para petugas Bait Allah mematok nilai tukar yang tinggi. Ini jelas-jelas pemerasan. Akibatnya Bait Allah bukan lagi menjadi tempat ibadah, tetapi telah berubah menjadi “sarang penyamun”. Dan ini membuat Yesus sangat marah.

Yesus tidak akan menjadi marah karena ingin balas dendam, iri atau karena sakit hati. Ia marah karena kesucian Allah dinodai dan diinjak-injak. Marah seperti itu adalah marah yang pada tempatnya yang benar.

Marah seperti ini seharusnya timbul melihat apa yang terjadi dalam masyarakat dan dalam persekutuan kita. Kita juga patut marah. Ketika kebenaran Allah diselewengkan, ketika gaya hidup tercemar, ketika ketidak setiaan terjadi – apakah kita marah?

Kapankah terakhir kali kita marah? Apakah amarah itu tepat ataukah sebaliknya? Hati-hatilah! Amarah kita bisa dosa atau kudus.

Marah yang salah mudah, tapi marah yang benar sangat sulit diungkapkan.

Bacaan Alkitab

Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah.

Markus 11:15