Renungan Natal: Perdamaian oleh YESUS KRISTUS

Renungan Natal - Perdamaian oleh YESUS KRISTUS
Renungan Natal - Perdamaian oleh YESUS KRISTUS

Beberapa minggu sebelum Natal, kita telah mendengar banyak lagu Natal yang dikumandangkan di berbagai departement store, demikian pula dengan sales tahunan yang disertai kehadiran Santa Claus di mana-mana. Natal memang telah menjadi milik dunia, namun sayang sekali makna dan tujuan Natal yang hakiki telah dilupakan. Natal yang spiritual telah menjadi Natal yang komersial.
Oleh karena itu melalui Renungan Natal sederhana dan singkat ini marilah kita menelaah kembali makna dan tujuan Natal yang semula. Dalam nubuatan Nabi Yesaya, salah satu nama yang diberikan kepada Yesus, sang bayi Natal; adalah Raja Damai (Yesaya 6:5) Salah satu tujuan Natal, kedatangan Tuhan ke dunia adalah untuk memperdamaikan kembali segala relasi yang telah dirusak oleh dosa. Oleh karena dosa maka relasi manusia dengan Allah, sesama, lingkungan dan diri sendiri telah terputus. Dan Yesus datang untuk memulihkan semuanya itu.

Kerusakan Akibat Dosa

Dalam Kitab Kejadian dinyatakan bahwa manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, di dalam diri manusia terdapat sebahagian dari atribut Allah seperti intelek, emosi dan kehendak. Bahkan oleh penginjil Lukas Adam, disebut sebagai “anak Allah” (Kejadian 1:26, Lukas 3:38). Sebenarnya manusia mempunyai posisi dan relasi yang sangat istimewa dengan Allah dibanding dengan mahluk ciptaan lainnya. Namun sayang sekali karena dosa nenek-moyang kita, karena ketidak-taatan serta pelanggaran Adam dan Hawa terhadap perintah Allah untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat yang terdapat dalam taman Eden (Kejadian 2:16), maka posisi dan relasi tersebut hancur. Bahkan relasi dengan sesama, lingkungan serta diri sendiri juga berantakan. Karena dosa terjadilah kerusakan yang menyeluruh dalam kehidupan umat manusia! Selain murka Allah dan pengusiran manusia keluar dari taman Eden yang mengakibatkan putus hubungan manusia dengan Allah, dalam hubungan antar manusiapun terjadi saling berbencian. Adam menyalahkan Hawa dalam peristiwa pelanggaran tersebut dan Hawa menyalahkan si ular, mungkin karena takut kepada suaminya. Konflik keluarga dan gejala tersebut masih terus berlangsung sampai sekarang dalam banyak kehidupan rumah-tangga, sehingga perceraian dan orang-tua tunggal makin meningkat akhir-akhir ini.

Demikian pula antara saudara sekandung terjadi kebencian. Kain si sulung sampai membunuh Habel, yang persembahannnya diterima Allah. Konflik dan gejala inipun masih terus berlangsung sampai sekarang. Khususnya bila kita meperhatikan kebencian dan kekerasan yang dilakukan oleh sesama saudara sebangsa oleh karena perbedaan kepercayaan. Misalkan yang terjadi di Irlandia antara Kristen Protestan dan Katholik, yang tak pernah berhenti sampai sekarang. Khusus bagi kita masyarakat Indonesia; perusakan, penghancuran dan pembakaran Gereja yang marak tahun ini di tanah air, serta dianiaya serta tewasnya beberapa hamba Tuhan dalam peristiwa-peristiwa tersebut merupakan suatu bukti masih sangat hangat. Akibat dosa manusia maka bumipun terkutuk dan lingkungan menjadi rusak, di mana manusia harus bersusah payah mencari nafkahnya (Kejadian 3:17-19). Oleh karena itu tidak heran bila banyak orang berteriak :”Susah!”, menjelang Natal, Tahun Baru, Lebaran dan Imlek mendatang!

Akibat parah yang lain karena dosa adalah putusnya relasi manusia dengan dirinya sendiri. Setelah Adam dan Hawa tahu bahwa mereka telajang, mereka tidak bisa menerima diri mereka sendiri, mereka malu dan menyembunyikan diri (Kejadian 3:7-10). Gejala penolakan terhadap diri sendiri hingga sekarang masih terus berlansung. Betapa banyak orang yang tidak bisa menerima dirinya lalu membunuh diri, lari ke obat terlarang atau pergaulan bebas bahkan menjadi anti sosial, sebagai tempat persembunyian. Di tengah dunia dan kehidupan umat manusia yang hancur itulah Yesus Kristus datang di hari Natal untuk membawa damai yang menyeluruh, itulah makna dan tujuan Natal yang sebenarnya. Adakah kita mengalaminya? Tanpa mengalami perdamaian yang menyeluruh tersebut sesungguhnya Natal tiada bermakna bagi anda, sekalipun anda merayakannnya dengan sangat meriah dan mendapatkan semua hadiah yang didambakan.

Perdamaian Empat Dimensi

Perdamaian pertama yang harus kita alami adalah perdamaian dengan Allah, yang Maha Pengasih. Allah mencipta manusia adalah agar manusia dapat menikmati kasih Allah. Karena Allah adalah kasih (I Yohanes 4:8), dengan sendirinya membutuhkan obyek. Allah bukanlah Allah yang egois, hanya mau saling mengasihi antara Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kasih Allah membutuhkan obyek, maka Allah mencipta manusia yang serupa dan segambar dengan DiriNya, mahluk yang mampu menikmati kasih Allah. Bahkan setelah manusia memberontakpun Allah tetap mengasihinya :”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16). Ini adalah ungkapan kasih yang luar biasa. Manusia yang berdosa tidak sanggup mencari dan kembali kepada Allah, hanya karena kasihNya maka Ia telah datang dan mencari manusia agar kembali kepadaNya, berdamai denganNya. Biasanya kalau ada dua negara sedang bermusuhan adalah wajar bila negara yang lemah meminta berdamai kepada negara yang kuat. Namun dalam peristiwa Natal justru yang terjadi sebaliknya, Allah yang Maha Kuasa dan Kudus-lah yang menawarkan perdamaian bagi umat manusia yang berdosa, lemah dan najis. Dan perdamaian itu hanya bisa terlaksanan melalui kematian Yesus Kristus yang lahir di hari Natal itu (Efesus 2:16, Kolose 1:20). Apabila tawaran perdamaian Allah kita sambut maka kita menerima pengampunan dosa, penebusan dari hukuman Allah, hidup kekal dan mempunyai hak kembali menjadi anak Allah seperti Adam sebelum jatuh dalam dosa. Namun apabila kita menolaknya maka pengadilan dan murka Allah-lah yang menanti kita sebab Alkitab/Firman Allah mengatakan:”Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibrani 9:27). Maukah di masa raya Natal ini anda menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan berdamai dengan Allah sambil berdoa:”Ya Bapa di sorga, saya mengaku orang berdosa yang memberontak dan menjadi seteru Allah. Namun saya bersyukur di hari Natal Dikau telah mengutus Putra-mu yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus lahir di Betlehem untuk mati di Golgota; disalibkan menggantikan saya yang berdosa ini. Ampuni dan angkatlah dosa-dosa saya serta terimalah saya kembali menjadi anak-Mu. Amin”

Damai dimensi kedua yang perlu kita alami adalah perdamaian dengan sesama kita. Entah sesama anggota keluarga, sanak-keluarga lain, anggota persekutuan atau seseorang yang telah bersalah kepada kita. Salah satu penghambat dalam pertumbuhan rohani/iman orang Kristen adalah mendendam atau menyimpan kesalahan seseorang dan tidak mau mengampuni dosa/kesalahan orang tersebut. Biarlah di masa raya Natal ini semangat pengampunan Allah yang dinyatakan dengan penjelmaan-Nya menjadi manusia untuk menanggung dosa umat manusia memberi kita inspirasi dan dorongan untuk mengampuni pula orang yang berdosa kepada kita. Ingatlah pepatah yang mengatakan “To err is human, to forgive is divine” dan “Humanity is never so beautiful as when praying for forgiveness or else forgiving another”. Namun disamping itu, kita yang telah berdosa atau bersalah kepada sesama kita, marilah dengan semangat kerendahan hati Allah yang mau menjadi bayi dan lahir dipalungan hina, mengakui kesalahan kita dan meminta maaf kepada orang yang kepadanya kita telah bersalah. Ketinggi-hatian adalah penghambat utama pertumbuhan rohani/iman kita. Ingatlah peringatan yang berbunyi: “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Amsal 16:18). Kiranya Tuhan yang Maha Pengampun menolong kita dalam merayakan Natal dapat pula mengampuni orang yang bersalah kepada kita dan dengan rendah hati mengakui keselahan kita kepada orang yang kepadanya kita telah bersalah, tidak membawanya memasuki Tahun yang baru. Mengampuni adalah melepaskan hak untuk membalas atau menghukum kembali. Sudahkah di hari Natal ini anda melepaskan hak tersebut, seperti Allah yang telah melepaskan hak-Nya untuk menghukum anda? Semoga ada perdamaian diantara kita.

Perdamaian dengan sesama kita
Perdamaian dengan sesama kita

Dimensi ketiga perdamaian oleh Yesus Kristus, adalah aspek perdamaian yang sering dilupakan oleh umat Kristen, yaitu perdamaian dengan lingkungan. Bukan saja dengan alam sekitar tetapi juga dengan masyarakat sekitar kita.
Beberapa waktu lalu diadakan sebuah konferensi internasional membahas usaha-usaha untuk mengurangi kepanasan bumi. Konferensi tersebut adalah konferensi yang kesekian-kalinya diadakan sebagai pernyataan keprihatinan dunia internasional terhadap bumi yang makin panas ini. Akibat kesukaran mencari nafkah dan ketamakan manusia akan harta maka manusia tidak segan-segan merusak lingkungan sekitarnya demi kekayaan. Pembakaran hutan, pembuangan limbah ke sembarang tempat dan pencemaran lingkungan sudah menjadi “hobby” kaum pengusaha demi profit yang akan diperolehnya. Di dalam arena ini kaum Kristen nampaknya kurang terlibat, mungkin kuatir disebut pengikut New Age, seperti VP Al Gore tersebut. Namun demikian di masa raya Natal ini janganlah kita lupa bahwa justru melalui kelahiran Yesus Kristus dipertemukanlah kaum elit, yaitu para majus dan rakyat jelata, para gembala di kandang Betlehem. Biarlah di masa raya Natal ini kita diingatkan kembali akan panggilan kita untuk menciptakan perdamaian dengan lingkungan masyakarat sekitar kita. Khususnya di tengah era globalisasi dan masyarakarat yang serba majemuk dan pluralistik ini. Kita hidup di tengah masyarakat yang beragam suku, ras, agama dan sebagainya.

John Naisbit dalam bukunya yang populer “Global Paradox“, mengungkapkan bahwa bangsa-bangsa kini banyak yang ingin indipenden, berdiri sendiri secara politik namun dalam ekonomi bergantung satu dengan yang lain, ini adalah suatu paradoks. Dalam mewujudkan perdamaian dengan lingkungan, prinsip paradoks tersebut dapat pula kita terapkan. Di dalam keeksklusifan iman kepercayaan kita yang mengakui satu-satunya Juruselamat ialah Yesus Kristus yang lahir di hari Natal itu adalah Allah yang menjelma jadi manusia, janganlah kita hidup secara eksklusif. Kita harus dapat memasukan semua masyarakat dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda serta yang berkemauan baik, dalam usaha-usaha bersama untuk perbaikan dan peningkatan kehidupan masyarakat di mana kita ditempatkan Tuhan. Kita harus membedakan bahwa mengargai dan menerima mereka bukan berarti mengakui kebenaran kepercayaan mereka. Apapun latar belakang suku dan agama mereka, mereka adalah juga sesama umat manusia yang adalah gambar dan rupa Allah dan bagi mereka juga Allah telah datang. Semoga dengan semangat Natal, di mana Yesus Kristus datang untuk memperdamaikan seluruh umat manusia di dalam diri-Nya kita meperbaharui sikap dan tindakan kita terhadap lingkungan dan masyarakat. Bukankah Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Matius 5:9)

Dimensi keempat atau terakhir yang perlu diperdamaikan dalam Yesus Kristus adalah diri kita sendiri. Perdamaian dengan diri sendiri adalah sangat penting karena sikap terhadap diri sendiri akan mempengaruhi kepribadian dan tindakan kita sebagai anak-anak Allah. Tidak sedikit orang percaya yang tidak dapat menerima dirinya, baik secara fisik dan terutama kepribadian. Penolakan kepada diri sendiri adalah juga salah satu penghambat besar bagi pertumbuhan rohani/iman kita. Khususnya bagi orang yang merasa dan menganggap dirinya seorang yang gagal. Gagal sebagai suami atau isteri seperti Adam dan Hawa itu, gagal sebagai anak seperti Kain itu, gagal sebagai ayah seperti si imam Eli itu, bahkan gagal sebagai hamba Tuhan seperti nabi Elia itu. Semua kita cenderung untuk tidak dapat menerima diri yang gagal karena kita hidup di tengah dunia yang serba menuntut kesuksesan dan achiement. Perasaan gagal tersebut mengakibatkan depresi dalam hidup dan kita kehilangan sukacita. C.S. Lewis seorang filsut dan theolog Inggris berkata: “I think if God forgives us, we must forgive ourselves. Otherwise it is almost like setting up ourselves as a higher tribunal than Him.”

Semoga saat merayakan Natal ini dengan penuh kerendahan hati dan pengucapan syukur kita dapat menerima dan mengampuni diri kita sendiri sebagaimana Yesus Kristus yang di palungan menerima dan mengampuni setiap orang yang datang pada-Nya entah para majus ataupun gembala itu. Ingatlah bahwa di hari Natal, Allah telah menjelma menjadi manusia malah sebagai bayi kecil dan lemah dengan segala keterbatasan manusia, karena Ia dapat menerima pula diri-Nya sebagai manusia, bahkan Ia pun dapat dicobai sekalipun Ia tidak berdosa. Kiranya Tuhan menolong kita semua setelah keterputusan hubungan yang menyeluruh akibat dosa, melalui Yesus Kristus kita diperdamaikan dengan sempurna di dalam Dia yang sempurna dalam hubungan kita dengan Allah, sesama, lingkungan dan diri sendiri.

“Selamat Hari Natal dan Selamat Tahun Baru”