Marah : Biasa Tetapi Bukan Kebiasaan

Orang Kristen boleh marah?
Orang Kristen boleh marah?

Kemarahan adalah salah satu kondisi emosi yang seringkali dialami oleh setiap orang, termasuk di dalamnya orang-orang Kristen. Berbagai masalah telah timbul sebagai akibat dari kemarahan. Misalnya, kemarahan seringkali menyisakan dendam ataupun kepahitan hati.

Tulisan ini akan membahas kemarahan dari perspektif Alkitab, secara khusus kemarahan dalam relasi antara manusia dengan manusia. Pengambilan beberapa kisah maupun kutipan yang ada, baik di PL ataupun PL, akan menjadi acuan untuk mendapatkan gambaran dari Alkitab secara lebih menyeluruh tentang kemarahan.

Perspektif Perjanjian Lama tentang Kemarahan

Kisah pertama tentang kemarahan antara manusia-manusia dicatat dalam Kej 4:6, tentang kemarahan Kain terhadap Habil adiknya. Kain menjadi marah karena merasa iri. Allah menerima persembahan Habil, sedangkan persembahan Kain ditolak-Nya. Kain menjadi marah, dan Allah mengingatkannya, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? … Dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (Kej 4:7-8). Kemarahan ternyata berkuasa atas Kain, sehingga ia akhirnya jatuh ke dalam dosa, dengan membunuh Habil.

Dari kisah Kain dan Habil ini kita mendapati bahwa kemarahan yang tak terkendalikan, pada akhirnya hanya akan melahirkan suatu dosa di hadapan Allah. Allah telah memperingatkan Kain akan bahaya dosa, apabila ia terus-menerus dikuasai oleh kemarahannya. Ternyata akhirnya Kain jatuh di dalam dosa karena kemarahannya.

Pemazmur dalam Mazmur 37:8 menasihatkan, “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, janganlah marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.” Sedangkan penulis Amsal juga menegaskan, “Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana bersabar.” (Ams 14:17). Demikian juga dalam Ams 14:29, “Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.” (Ams 14:29). Demikian juga Ams 19:19a, “Orang yang cepat marah akan kena denda”.

Penulis Amsal juga mengingatkan pembacanya agar merenungkan dan berhati-hati dalam berelasi dengan orang yang cepat marah. “Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan seorang pemarah” (Ams 22:24). Larangan ini diberikan karena, “Si Pemarah menimbulkan pertengkaran” (Ams 29:22). Tidak saja memperingatkan terhadap bahaya dari kemarahan yang diekspresikan, penulis kitab hikmat lain, yaitu Pengkhotbah, mengingatkan, “Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh (Pkh 7:8).

Dari beberapa bagian di atas, kita mendapat bahwa yang dikecam oleh para penulis kitab hikmat bukanlah kemarahan itu sendiri. Para penulis kitab hikmat mengecam sifat lekas marah alam diri seseorang. Bukan saja sifat lekas marah, tetapi juga sifat terus-menerus marah (dendam). Jadi, menurut para penulis kitab hikmat, kemarahan itu sendiri wajar, tetapi sifat lekas marah dan terus menerus marah itulah yang merupakan suatu hal yang sangat tidak baik.

Teguran secara langsung dari TUHAN terhadap mereka yang lekas dan terus menerus marah kepada sesamanya ditemukan dalam Ams 1:11, “Beginilah Firman Tuhan: ‘Karena tiga perbuatan jahat Edom, bahkan empat, Aku tidak akan menarik keputusan-Ku: Oleh karena ia mengejar saudaranya dengan pedang dan mengekang belas kasihannya, memendamkan amarahnya untuk selamanya dan menyimpan gemasnya untuk seterusnya'”.

Kemarahan - Biasa Tetapi Bukan Kebiasaan
Kemarahan – Biasa Tetapi Bukan Kebiasaan

Perspektif Perjanjian Baru tentang Kemarahan

Dalam khotbah-Nya di bukit, Yesus mengingatkan secara keras bahaya dari kemarahan. Yesus berkata, “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum …” (Mat 5:22). Konteks dari bagian ini adalah teguran yang Yesus berikan kepada intepretasi yang salah terhadap Taurat, yang dilakukan oleh orang farisi. Terhadap intepretasi yang salah terhadap hukum “jangan membunuh”, Yesus menekankan bahwa perintah ini tidak saja dilanggar ketika seseorang membunuh orang lain, tetapi apabila hati atau pikiran seseorang -didorong oleh kemarahannya- bermaksud untuk membunuh seseorang, hal itu juga merupakan suatu dosa. Jadi, Yesus memperingatkan akan bahaya dari kemrahan yang berkelanjutan (dendam).

Apakah Yesus sendiri tidak pernah marah? Tidak. Beberapa bagian Alkitab mencatat bahwa Yesus pun pernah marah (Mar 3:5;10:14). Salah satu kisah yang sangat menarik untuk diperhatikan adalah ketika Yesus memporak-porandakan meja-kursi orang-orang yang berjual beli di halaman bait Allah (Markus 11:15-19). Yesus tentu tidak melakukan semunya itu dengan ekspresi muka yang tenang, ia pasti marah dan sangat marah.

Beberapa pelajaran dapat ditarik dari marah (tetapi tidak berdosa) yang dialami oleh Tuhan Yesus. Pertama, kemarahan Yesus mempunyai alasan yang sangat kuat dan signifikan. Bait Allah seharusnyalah digunakan sebagai tempat beribadah dan bukan tempat untuk berjual beli. Kedua, kemarahan Yesus ditujukan pada orang yang “tepat”. Yesus tidak marah kepada semua orang yang ada di bait Allah, tetapi hanya kepada mereka yang berjual beli di halaman bait Allah. Ketiga, Yesus tidak dikuasai oleh kemarahannya, tetapi Yesuslah yang menguasai kemarahan-Nya. Yesus terlebih dahulu mengusir orang-orang yang berjual beli, baru kemudian menjungkir-balikan meja-kursi milik para pedagang tersebut. Dari kisah ini, kita mendapatkan pedoman bagaimana marah tetapi tidak berdosa. Apabila kita marah hendaknya hal itu dikarenakan suatu alasan yang sangat kuat dan signifikan, kemarahan tersebut ditujukan pada orang yang “tepat”, dan diekspresikan dengan cara yang tepat pula.

Rasul Paulus pun mengajarkan, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu.” Hal ini berarti: pertama, kemarahan itu sendiri bukanlah suatu dosa. Boleh menjadi marah, tetapi jangan sampai karena kemarahan itu, kita melakukan suatu dosa. Kedua, jangan marah secara berlarut-larut. Apabila marah terhadap seseorang, secepat mungkin harus diselesaikan masalahnya. Jangan membiarkan kemarahan menjadi suatu dendam.

Dalam Gal 5:19-21, Paulus menyatakan, “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraaan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora …”. Kata “amarah” yang disebutkan dalam bagian ini, yang merupakan buah dari perbuatan daging, bukanlah semata-mata mempunyai arti amarah. Tetapi kata “amarah” disini mengandung pengertian amarah yang meledak-ledak dan tidak terkendalikan yang sudah menjadi karakter dalam diri seseorang.

Dari pembahasan di atas, kita mendapati bahwa menurut PB, kemarahan itu sendiri bukanlah suatu dosa, tetapi kemarahan dapat menyeret ke dalam dosa.

Orang Kristen – Bolehkah marah?

Bolehkah marah? Boleh. Tetapi jangan mudah terburu-buru menjadi marah. Sebelum memutuskan untuk memarahi seseorang, perhatikan beberapa hal berikut:

  1. Apakah saya mempunyai alasan yang tepat untuk marah?
  2. Apakah orang yang akan saya marahi ini adalah betul-betul orang yang “tepat”?
  3. Apakah cara marah saya menunjukan bahwa saya menguasai kemarahan saya?
  4. Apakah setelah saya memarahi seseorang, saya bersedia untuk memafkan dan menerimanya kembali?

Apabila anda menjawab keempat pertanyaan di atas dengan jawaban “ya”. Anda dipersilahkan untuk marah. Tetapi apabila anda menjawab “tidak” pada salah satu pertanyaan di atas, lebih baik anda memikirkan ulang keinginan untuk marah yang anda miliki. Agar jangan sampai kemarahan tersebut menyeret anda untuk jatuh ke dalam dosa.